Arief Bayuaji (inilah.com)

Headline Sumber:/http://www.inilah.com/read/detail/952912/marissa-minta-kevin-urus-foto-setengah-telanjang/

Total Tayangan Halaman

Pelacur Vina Panduwinata Boy Yudho

Pelacur Vina Panduwinata Boy Yudho
Pelacur Vina Panduwinata Boy Yudho

Selasa, 09 Agustus 2011

Mencari Diri Lewat Tubuh: Arief Bayuaji (inilah.com)


Dini | Senin, 7 Februari 2011 | 09:14 WIB
Ahli bedak plastik dr Enrina Diah, dan beragam jenis dan ukuran breast implant yang disediakan di Klinik Ultimo Aesthetic & Dental Center di Plaza Asia, Jakarta.
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a54b0030&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=1051&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a54b0030' border='0' alt='' /></a>
KOMPAS.com - Operasi kecantikan atau operasi plastik itu sebenarnya masalah fisik atau psikologi? Kalau Anda bertanya kepada dokter ahli bedah kecantikan, pasti akan dijawab: kedua-duanya.

Sudah banyak yang mempertanyakan teka-teki seperti itu. Lebih jauh lagi bahkan pertanyaan operasi tubuh untuk kepentingan kecantikan sebenarnya masalah etik atau estetik? Masalah teknik atau masalah eksistensial?

Suatu saat di sebuah tempat pelesiran malam terkenal di Singapura, di sebuah kelab yang sangat ramai di mana sebagian orang barangkali kepalanya terasa sedikit melayang karena pengaruh minuman, tiba-tiba terlihat seorang perempuan dengan pakaian seksi. Usia paruh baya, orang Indonesia.

Di tempat sama kebetulan sedang bersantai di situ seorang ahli bedah plastik asal Brasil, yang di tempat praktiknya di Singapura banyak menerima pasien dari Indonesia. Keahlian dokter ini adalah bidang seperti operasi payudara, peremajaan kulit, botox/fillers, operasi pembentukan tubuh, dan lain-lain.

Perempuan Indonesia itu melihat dokter tadi. Hai, sapanya ramai. Mereka rupanya saling kenal. Dengan satu tangan memegang gelas minuman, perempuan ini mendekat ke si dokter. Ia menggelendot mesra. Selain bertanya apa kabar dan semacamnya dia menunjukkan kabarnya sendiri.

”Lihat, ini masih bagus, kan...” begitu kurang lebih ucapnya sembari membuka belahan pakaian bagian atas, memperlihatkan bagian tubuhnya di keremangan cahaya kelab. Si dokter cuma tertawa-tawa menanggapi kemanjaan perempuan ini.

”Saya tidak bicara tentang pasien,” tukas dokter ini ketika kami ingin menegaskan apakah betul dia yang menggarap bagian tubuh yang sekilas tampak apik seperti ”Brazilian sculpture” tadi. ”Tapi kenyataannya Anda lihat sendiri...” lanjutnya tertawa.

Ketenaran Brasil di dunia operasi plastik di kalangan pemuja keindahan fisik melahirkan istilah ”Brazilian sculpture” alias ”ukiran Brasil” bagi kesempurnaan kontur tubuh. Dokter tadi mengaku banyak punya teman seperti itu. Ia merasa dirinya ”superfriend”. Di Jakarta, katanya, ia merasa sebagai ”the most welcome guy among the ladies” alias teman cowok paling diterima di antara para wanita.

Tak jelas, relasi seperti itu bisa dikategorikan sebagai kelebihan atau kekurangan.

Tubuh sebagai peranti
Relasi antara manusia dan tubuh yang terekayasa oleh teknologi kedokteran pernah digambarkan secara menarik oleh penulis Inggris keturunan Pakistan, Hanif Kureishi, dalam novel The Body (2002). Sebagaimana fiksi yang punya kemungkinan melebih-lebihkan, di situ digambarkan teknologi kedokteran telah memungkinkan seseorang bukan saja menyempurnakan tubuh lewat operasi, tetapi bahkan menggantikannya dengan tubuh lain. Termasuk dilakukan tokoh novel ini, seorang pengarang berusia 60-an tahun telah merasa tua dengan problem tulang dan katarak. Suatu saat, dia bertemu seseorang yang bisa membawanya untuk menjalani operasi tukar tubuh, seperti dilakukan orang ini sendiri. Berpenampilan sebagai lelaki umur 20-an tahun, sejatinya dia sudah berusia 80 tahun. Badan baru itu (new body) dia dapat dari rumah sakit. Dengan badan barunya, ia bisa meneruskan ambisi-ambisi yang belum tercapai.

Tergiur dengan kemungkinan tadi dan keinginan bereksplorasi sebagai pengarang, pamitlah pengarang ini pada istri dan anak-anak di rumah. Ia ingin liburan sendiri selama enam bulan. Kesempatan itu diam-diam hendak dia manfaatkan untuk menjalani pengalaman bertukar tubuh untuk sementara waktu, dengan tubuh yang lebih muda, lebih sehat, lebih ganteng, sempurna seperti patung-patung di museum di Inggris.

Apa jadinya ketika si pengarang telah memiliki tubuh yang lebih muda, lebih atletis? Pertama-tama agak canggung. Dia merasa agak ketinggian. Kalau duduk di mobil dengkulnya sering terbentur sesuatu karena kaki ini lebih panjang.

Kemudian dia mulai petualangannya dengan tubuh baru. Tubuh sebagai sekadar fasilitas, sebagai peranti. Pengalaman baru ini toh membenturkan dirinya dengan pertanyaan, apakah aku masih aku dengan tubuh yang ini? Dengan tubuh yang berbeda?

Metamorfosis kalangan urban
Operasi plastik, operasi kecantikan, face-lifts, dan semacamnya mungkin sebaiknya dilakukan oleh mereka yang tak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan seperti tadi. Taruhlah pertanyaan mengenai otentisitas dan sesuatu yang natural.

Dibandingkan di beberapa tempat di mana operasi plastik sudah dianggap biasa—di Asia taruhlah Jepang, Korea, dan Thailand di mana pelaku lebih terbuka—di Indonesia para pelaku masih sangat tertutup. Jarang yang bersedia secara terbuka membeberkan pengalaman mengenai operasi yang telah dijalani untuk mempercantik diri.

Dalam pergaulan sosial kalangan tertentu, hal-hal seperti itu paling-paling menjadi gunjingan. Sejumlah perempuan umumnya melakukan secara diam-diam di luar negeri, biasanya di Singapura atau Thailand. Mereka akan menghilang beberapa waktu, sulit dihubungi seperti tak jelas rimbanya, sampai suatu saat muncul lagi dengan tampilan lebih cantik. Itulah proses metamorfosis sebagian orang dari dunia urban kita.

”Di luar negeri sudah lumrah. Seperti di Korea cewek akan bangga kalau bisa melakukan operasi mata (di Korea banyak wanita melakukan operasi agar mata kelihatan lebih besar, tidak sipit). Berarti mereka punya duit,” kata seorang wanita, yang menjalani sejumlah operasi kecantikan. Wanita ini kebetulan memiliki semacam klinik kecantikan di Jakarta Pusat yang bisa mengantarkan orang untuk melakukan operasi kecantikan. ”Saya sendiri senang, maka sebelumnya saya melakukan untuk diri sendiri,” ucapnya.

Dia menunjuk antara lain hidungnya. Hidung itu pernah digarap oleh operasi, istilahnya ”nose job”. Hidung dimancungkan, dengan menyisipkan tulang yang diambil dari bagian tubuh dirinya yang lain. ”Ini dulu yang diambil,” ujarnya menunjukkan sikut kanannya. Di dekat sikut itu terdapat sedikit bekas jahitan. Tulang untuk menambal hidung, katanya, diambil dari situ. ”Diambil dikit, dikikir-kikir, kemudian dimasukkan ke hidung,” ceritanya.

Dari pengalamannya sendiri maupun mengurusi klinik kecantikan, dia bercerita panjang lebar mengenai dunia bedah plastik. ”Di Indonesia belum seperti di negara-negara lain, meskipun kini sedikit-sedikit sudah mulai,” katanya. Dulu, face-lifts, misalnya, umumnya dilakukan orang-orang yang telah berumur. Sekarang, yang menjalani operasi kecantikan lebih beragam, menuju usia-usia lebih muda. Kepentingannya antara lain untuk membentuk tubuh. ”Laki-laki juga bisa melakukannya. Dengan liposculpture tubuh yang kurus bisa dibikin berotot kayak atlet,” katanya sembari menunjuk gambar-gambar.

Menurut dia, operasi kecantikan dalam beberapa hal sangat tergantung kepada dokter. Setiap dokter punya spesifikasi masing-masing. ”Dokter-dokter itu harus punya sense of art dan sense of beauty,” ujarnya.

Dengan keahlian yang dimiliki setiap dokter, kalau mau tubuh betul-betul sempurna, katanya, operasi harus dilakukan oleh beberapa dokter. Misalnya khusus untuk wajah dokter siapa, untuk payudara siapa, dan seterusnya.

Makanya, operasi kecantikan—sebagaimana usaha mempercantik diri secara terus-menerus—umumnya menimbulkan kecanduan. Katakanlah ini sebagai upaya mencari diri, lewat tubuh.
(Bre Redana)
Sent from Indosat BlackBerry powered by

Entri Populer